Sabtu, 18 Maret 2017

ARTIKEL KASUS ASPEK HUKUM DALAM EKONOMI

Harian Kompas, 2017
Kasus Freeport, Apakah Arbitrase Jalan Terbaik?
Selasa, 21 Februari 2017 | 12:54 WIB

KOMPAS/PRASETYOPemandangan area tambang Grasberg Mine di Kabupaten Mimika, Papua, yang dikelola PT Freeport Indonesia. Lubang menganga sedalam 1 kilometer dan berdiameter sekitar 4 kilometer itu telah dieksploitasi Freeport sejak tahun 1988. Hingga kini, cadangan bijih tambang di Grasberg Mine tersisa sekitar 200 juta ton dan akan benar-benar habis pada 2017.

JAKARTA, KOMPAS.com - Kemelut kasus kontrak karya PT Freeport Indonesia membuat perusahaan induknya, Freeport McMoran Inc dan pemerintah Indonesia sama-sama ingin menempuh jalur arbitrase.

Apakah arbitrase jalan terbaik bagi kasus ini? Pakar hukum bisnis memiliki pandangan tersendiri.
Sartono, Partner di kantor hukum Hanafiah Ponggawa & Partners (HPRP) mengatakan bahwa dalam menyelesaikan suatu sengketa, selalu jalan terbaik adalah menyelesaikan secara damai melalui negosiasi-negosiasi.

Tujuannya adalah agar dapat dicapai titik temu yang mengakomodir kepentingan kedua belah pihak.

Menurut dia, perlu dipertimbangkan bahwa sengketa melalui pengadilan atau forum arbitrase akan menyita waktu, tenaga, fikiran dan biaya yang tidak sedikit, belum lagi faktor-faktor lainnya yang mungkin timbul akibat sengketa tersebut.

"Oleh karena itu, menurut kami jalan terbaik untuk penyelesaian kontrak karya Freeport ini adalah dengan melakukan negosiasi untuk mencari titik temu antara pemerintah dan Freeport," ujar Sartono, yang juga mengepalai bidang Litigasi di HPRP melalui keterangan tertulis ke Kompas.com, Selasa (21/2/2017).

Namun, lanjut Sartono, ketentuan peraturan perundangan harus tetap dijunjung tinggi. Pemerintah juga harus melaksanakan aturan perundangan secara konsisten dan adil terhadap semua pihak.

"Jika memang penyelesaian secara damai tidak dapat dicapai, maka penyelesaian melalui forum arbitrase atau pengadilan merupakan upaya terakhir yang dapat ditempuh," tulisnya.

Aspek Hukum

Sartono mengatakan, jika dilihat dari aspek hukum, kasus kontrak karya Freeport sangat menarik dan begitu banyak aspek yang harus diperhatikan.

Antara lain hak dan kewajiban masing-masing pihak, keberlakuan dari kontrak karya tersebut jika dihubungkan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan diterbitkan oleh pemerintah.

"Belum lagi aspek tenaga kerja yang perlu pula diperhatikan," kata dia.

Kombinasi permintaan perpanjangan sebelum waktunya dan keharusan mematuhi ketentuan perundangan baru menambah komplikasi kasus ini.

"Menurut kami, sangat penting untuk melihat dan mempertimbangkan kasus ini secara hati-hati," pungkas Sartono.

Seperti diketahui, berdasarkan UU Minerba, 
PT Freeport Indonesia (PTFI) harus bersedia mengubah status kontraknya di Indonesia dari Kontrak Karya menjadi izin usaha pertambangan khusus (IUPK).

Pemerintah Indonesia juga melarang Freeport untuk mengekspor konsentratnya jika status Freeport Indonesia belum menjadi IUPK.

Freeport McMoran Inc menganggap pemerintah Indonesia berlaku tak adil karena menerbitkan aturan yang mewajibkan perubahan status Kontrak Karya ke IUPK.

Sebagai reaksi perusahaan yang bermarkas di 
Amerika Serikat(AS) tersebut, Presiden Direktur Freeport McMoran IncRichard Adkerson berencana membawa permasalahan tersebut ke penyelesaian sengketa di luar peradilan umum (arbitrase) jika tak kunjung menemui kata sepakat.

Menanggapi hal tersebut, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan menegaskan, pengajuan arbitrase bukan hanya bisa dilakukan oleh Freeport. Mantan Menteri Perhubungan ini menegaskan, pemerintah pun bisa mengajukan kasus ini ke arbitrase.

 Ketegangan PT Freeport dan Pemerintah (Bag3) : https://youtu.be/ezvAc_oDHjM


·         Kemelut Freeport
Penulis
: Aprillia Ika
Editor
: Aprillia Ika

Komentar:
Saya sangat mendukung pemerintah memutuskan kebijakan terhadap Freeport. Apabila salah satu pihak merasa ada pelanggaran kesepakatan maka dia bisa mengajukan kasus itu melalui arbitrase sesuai dengan kesepakatan yang dibuat dalam perjanjian kontrak.
Menurut saya bukan mengenai angka Triliun yang telah Freeport berikan kepada Indonesia, melainkan tentang berapa ribu bahkan puluhan ribu Triliun rupiah yang telah diperoleh Freeport sejak pertama kali beroperasi? Berapa rupiah nominal yang telah dibagikan kepada rakyat Papua dan Indonesia? dan apa konstribusi lain yang diberikan untuk mewujudkan kemakmuran rakyat sebagaimana prinsip dasar konstitusi negara? 
Jadi, jika hanya kerugian yang justru diperoleh negara dalam pengelolaan/penguasaan kekayaan alam Papua yang sekarang dikelola PTFI, sebaiknya Pemerintah RI berpikir ulang untuk memperpanjang keberadaan operasional PTFI pasca 2021, tetapi sebaliknya Pemerintah juga harus berpikir bagaimana jika tawaran-tawaran yang diberikan PTFI justru menguntungkan rakyat Indonesia, khususnya Papua.

Sumber:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar