Minggu, 24 April 2016

Ekonomi di Era Kepemimpinan Jokowi



Memahami Diplomasi Ekonomi Indonesia Era Pemerintahan Jokowi

Tahun 2014 diwarnai oleh pertumbuhan ekonomi global yang tidak stabil, yang tidak saja dialami oleh negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Inggris dan Jepang; tetapi juga dialami oleh negara-negara berkembang seperti Brazil, serta beberapa negara anggota ASEAN seperti Indonesia. Namun di lain pihak, terdapat sejumlah negara yang pertumbuhan ekonominya meningkat, seperti Thailand dan Vietnam. Kondisi perekonomian global tersebut ini merupakan dampak dari berbagai perkembangan yang terjadi baik di kawasan regional maupun global seperti krisis yang tengah berlangsung antara Rusia – Ukraina yang kembali melemahkan perekonomian di kawasan Euro setelah sebelumnya berhasil bangkit pasca krisis ekonomi yang melanda pada tahun 2013. Pelemahan pertumbuhan ekonomi di kawasan Euro ini terutama terjadi pada negara core di kawasan tersebut, yaitu Jerman dan Italia. Hal yang sama terjadi di Jepang, dimana kebijakan pemerintah untuk menaikkan pajak penjualan telah mengakibatkan turunnya investasi serta menurunkan daya beli masyarakatnya. Selain itu, adanya peningkatan jumlah pasokan minyak akibat meningkatnya supply minyak negara non OPEC, khususnya Amerika Serikat, ditengah melemahnya permintaan akibat perlambatan ekonomi negara emerging market, terutama Tiongkok berdampak pada turunnya harga minyak dunia.
Kondisi-kondisi seperti ini tidak dapat dipungkiri turut mempengaruhi  kondisi perekonomian Indonesia. Sepanjang tahun 2014, pertumbuhan ekonomi Indonesia melemah menjadi 5.1 % jauh di bawah pertumbuhan ekonomi  pada tahun sebelumnya yaitu 5.8 %. Nilai ekspor Indonesia hingga periode November 2014 dengan niai sebesar           US$ 161.67 milyar mengalami penurunan sebesar 2.36 % jika dilihat dari periode yang sama tahun 2013. Turunnya nilai ekspor tersebut turut dipengaruhi oleh turunnya permintaan dan harga komoditas global serta pembatasan ekspor mineral mentah.
Indonesia dengan kepemimpinan yang baru di bawah Presiden Joko Widodo, tentu saja diharapkan dapat membawa perubahan khususnya pertumbuhan ekonomi yang lebih baik yang tidak hanya dirasakan oleh kelompok/golongan tertentu tetapi juga dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat Indonesia.  Presiden Jokowi secara tegas  menyatakan akan merealisasikan ideologi Trisakti yaitu untuk menjadikan Indonesia negara yang berdaulat dalam politik; berdikari dalam ekonomi; serta berkepribadian dalam kebudayaan. Guna mencapai suatu perekonomian yang berbasis kerakyatan tersebut, tentu diperlukan suatu terobosan dalam hal diplomasi ekonomi Indonesia dengan mitranya baik secara bilateral, regional maupun multilateral. Hal ini sejalan dengan 9 (sembilan) agenda prioritas (NAWACITA) pemerintah periode 2015 – 2019 yang salah satunya adalah untuk mewujudkan suatu negara yang berdikari dalam ekonomi dengan cara menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik sesuai dengan percerminan dari ideologi Trisakti. Presiden Joko Widodo menargetkan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2015 sebesar 5.6% hingga 5.8%. Secara keseluruhan, ekspor nonmigas Indonesia lebih unggul dibandingkan sektor migas. Sepanjang Januari-November 2014, ekspor nonmigas tercatat mencapai 82.69 % sedangkan ekspor migas hanya sebesar 17.31%. Kontribusi terbesar ekspor nonmigas berasal dari industri pengolahan yang menyumbang sebesar 66.51%.
Sejalan dengan hal ini, Kementerian Luar Negeri (Kemlu) melalui perwakilan-perwakilan RI akan menjadi ujung tombak dari pelaksanaan diplomasi ekonomi. Menlu RI dalam Pernyataan Pers Tahunan tahun 2015 menyatakan bahwa berdasarkan visi dan misi Presiden Jokowi, politik luar negeri Indonesia akan diprioritaskan kepada menjaga kedaulatan Indonesia dengan memfokuskan kepada diplomasi perbatasan; peningkatan perlindungan terhadap WNI dan BHI; serta peningkatan diplomasi ekonomi.
Dalam hal diplomasi ekonomi, Kemlu akan memprioritaskan kebijakannya pada peningkatan diplomasi ekonomi yang berorientasikan pada kepentingan rakyat Indonesia. Hal ini menjadikan Kemenlu melalui perwakilan Indonesia di luar negeri sebagai pelaksana diplomasi ekonomi, yang diwakili oleh para diplomatnya harus dapat menjadikan dirinya tidak hanya sebagai marketers, tetapi juga sebagai opportunity seekers bagi berbagai peluang baik berupa perdagangan, turisme, serta investasi. Diplomasi ekonomi secara singkat dapat didefinisikan sebagai suatu kegiatan untuk mempromosikan potensi ekonomi suatu negara. Diplomasi ekonomi juga dapat diartikan sebagai upaya pemerintah beserta segenap pemangku kepentingan yang terlibat dalam suatu kegiatan di bidang ekonomi, yang mencakup perdagangan komoditas, investasi, pariwisata, ketenagakerjaan dan kerja sama teknik yang bertujuan untuk mendorong peningkatan kesejahteraan rakyat, mendukung pembangunan nasional dan memajukan kepentingan Indonesia di kancah global.
Peran perwakilan Indonesia sangat strategis dalam pelaksanaan diplomasi ekonomi. Pejabat di perwakilan Indonesia harus memiliki kemampuan market intelligence untuk melihat potensi dan peluang kerja sama di negara akreditasinya. Para diplomat juga dituntut untuk bisa menjalankan perannya sebagai trade policy intelligence dengan cara pengamatan terhadap kebijakan ekonomi yang diterapkan oleh pemerintah setempat dan menyampaikan saran kepada pusat terkait kebijakan yang dapat Indonesia ambil dalam menyikapi kebijakan ekonomi yang diambil oleh pemerintah setempat. Jika kepentingan ekonomi Indonesia berpotensi terancam dengan kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah tersebut, para diplomat kemudian harus dapat berperan sebagai negosiator untuk membela kepentingan Indonesia.
Di bidang perdagangan, diplomasi ekonomi Indonesia akan difokuskan pada upaya untuk membidik pasar non tradisional bagi produk-produk ekspor dari Indonesia. Selama ini ekspor dari Indonesia cenderung terfokus pada pasar-pasar tradisional seperti Jepang, Amerika, Singapura, Taiwan, Korea serta negara-negara di kawasan di Eropa Barat seperti Jerman, Belanda, Inggris, Perancis, serta Italia. Dengan tidak hanya berorientasi pada pasar tradisional, pasar-pasar non tradisional seperti negara non Uni Eropa; Skandianavia, Turki, Kanada, Meksiko, Swedia, Panama, Portugal, serta Irlandia berpotensi bagi peningkatan  nilai perdagangan dan investasi bagi Indonesia. Negara-negara di kawasan Amerika Latin serta Eropa Timur dan Tengah juga merupakan pasar alternatif bagi produk ekspor dari Indonesia. Peningkatan nilai perdagangan dan investasi dengan pasar non tradisional dan pasar alternatif hendaknya dijalankan dengan tetap mempertahankan hubungan yang telah terjalin dengan baik dengan pasar tradisional. Dengan berubahnya paradigma pangsa pasar bagi pemasaran produk ekspor Indonesia dari pasar tradisional ke pasar non tradisional serta pasar alternatif, nilai perdagangan serta investasi Indonesia diharapkan akan mengalami peningkatan.
Di bidang investasi, dalam pidato Presiden Jokowi pada KTT APEC pada bulan November 2014, dengan jelas disampaikan bahwa Indonesia membuka peluang masuknya investasi dalam jumlah yang besar, khususnya bagi pembangunan infrastruktur dan konektivitas dalam lima tahun ke depan. Presiden Jokowi menyampaikan bahwa Indonesia akan terbuka bagi masuknya investasi dalam proyek pembangunan 24 seaport dan deep seaport; railway track dan railway network yang menghubungan pulau-pulau terbesar di Indonesia; power plant untuk manufaktur dan daerah-daerah industri serta pembuatan transportasi umum di sejumlah kota besar di Indonesia; serta pembangunan sea toll dalam kerangka diplomasi maritim.
Di bidang pariwisata, pada event World Economic Forum tahun 2013,  Indonesia memperoleh posisi ke-70 sebagai negara dengan daya saing pariwisata. Berdasarkan hal tersebut, pemerintah RI terus berusaha untuk dapat memperbaiki daya saing pariwisatanya dengan menargetkan posisi ke 30 pada tahun 2019. Pada tahun 2014, bidang pariwisata berkontribusi sebesar 3.78% bagi perekonomian nasional. Sedangkan devisa yang ikut disumbangkan dari sektor pariwisata adalah sebesar  US$ 10.69 miliar. Target kunjungan dari wisatawan mancanegara pada tahun 2014 mampu memenuhi target dari pemerintah, yaitu sebesar 9.3 juta, sedangkan jumlah wisatawan dari nusantara tercatat sebesar 251 juta[.
Pemerintah Indonesia selama ini menargetkan 19 negara sebagai fokus utama pariwisata Indonesia diantaranya jepang, Korea Selatan, Rusia, Australia serta China. Tahun 2014 tercatat bahwa  ada 4 (empat) negara yang paling banyak melakukan kunjungan ke Indonesia, yaitu: Singapura, Malaysia, Australia dan China.
Pada tahun 2019, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif menargetkan  kontribusi pariwisata terhadap PDB nasional akan menjadi 8%, devisa yang dihasilkan sebesar Rp 240 triliun, serta menciptakan 13 juta lapangan kerja.  Selain itu target kunjungan wisman meningkat menjadi 20 juta wisatawan manca dan wisnus naik menjadi 275 juta, serta daya saing pariwisata Indonesia akan meningkat berada di ranking 30 besar dunia.
Target ini tentunya akan tercapai jika ditunjang oleh pembangunan infrastruktur serta konektifitas yang memadai sehingga  akses untuk mencapai tempat-tempat berpotensi wisata dapat diakses dengan mudah. Ketersediaan direct flight menuju titik-titik utama pariwisata Indonesia juga merupakan hal yang sangat penting dalam rangka meningkatkan jumlah wisatawan.
Selain itu, kebijakan pemerintah dengan pemberian Bebas Visa Kunjungan Singkat (BVKS) bagi 5 negara yakni; Australia, Jepang, Korea, China, dan Rusia yang mulai diterapkan tahun 2015 merupakan salah satu trigger bagi meningkatnya jumlah wisatawan dari negara tersebut sehingga target jumlah wisatawan mancanegara yang telah ditetapkan pemerintah untuk 5 (lima) tahun mendatang akan dapat tercapai.
Tanggung jawab pencapaian pertumbuhan ekonomi yang ditargetkan oleh pemerintah, tentunya tidak hanya terletak di tangan pemerintah saja. Peran pemerintah dalam mencapai tujuan tersebut akan lebih dapat ditingkatkan jika dapat bersinergi dengan para pemangku kepentingan terkait melalui persamaan pandangan dalam pelaksanaanya, sehingga dapat tercapai pertumbuhan ekonomi yang maksimal dan nyata serta dapat dirasakan oleh masyarakat luas.