Memahami Diplomasi Ekonomi Indonesia
Era Pemerintahan Jokowi
Tahun 2014
diwarnai oleh pertumbuhan ekonomi global yang tidak stabil, yang tidak saja
dialami oleh negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Inggris dan Jepang;
tetapi juga dialami oleh negara-negara berkembang seperti Brazil, serta
beberapa negara anggota ASEAN seperti Indonesia. Namun di lain pihak, terdapat
sejumlah negara yang pertumbuhan ekonominya meningkat, seperti Thailand dan
Vietnam. Kondisi perekonomian global tersebut ini merupakan dampak dari
berbagai perkembangan yang terjadi baik di kawasan regional maupun global
seperti krisis yang tengah berlangsung antara Rusia – Ukraina yang kembali
melemahkan perekonomian di kawasan Euro setelah sebelumnya berhasil bangkit
pasca krisis ekonomi yang melanda pada tahun 2013. Pelemahan pertumbuhan ekonomi
di kawasan Euro ini terutama terjadi pada negara core di kawasan
tersebut, yaitu Jerman dan Italia. Hal yang sama terjadi di Jepang, dimana
kebijakan pemerintah untuk menaikkan pajak penjualan telah mengakibatkan
turunnya investasi serta menurunkan daya beli masyarakatnya. Selain itu, adanya
peningkatan jumlah pasokan minyak akibat meningkatnya supply minyak
negara non OPEC, khususnya Amerika Serikat, ditengah melemahnya permintaan
akibat perlambatan ekonomi negara emerging market, terutama Tiongkok
berdampak pada turunnya harga minyak dunia.
Kondisi-kondisi
seperti ini tidak dapat dipungkiri turut mempengaruhi kondisi
perekonomian Indonesia. Sepanjang tahun 2014, pertumbuhan ekonomi Indonesia
melemah menjadi 5.1 % jauh di bawah pertumbuhan ekonomi pada tahun
sebelumnya yaitu 5.8 %. Nilai ekspor Indonesia hingga periode November 2014
dengan niai sebesar
US$ 161.67 milyar mengalami penurunan sebesar 2.36 % jika dilihat dari periode
yang sama tahun 2013. Turunnya nilai ekspor tersebut turut dipengaruhi oleh
turunnya permintaan dan harga komoditas global serta pembatasan ekspor mineral
mentah.
Indonesia
dengan kepemimpinan yang baru di bawah Presiden Joko Widodo, tentu saja
diharapkan dapat membawa perubahan khususnya pertumbuhan ekonomi yang lebih baik
yang tidak hanya dirasakan oleh kelompok/golongan tertentu tetapi juga
dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat Indonesia. Presiden Jokowi
secara tegas menyatakan akan merealisasikan ideologi Trisakti yaitu untuk
menjadikan Indonesia negara yang berdaulat dalam politik; berdikari dalam
ekonomi; serta berkepribadian dalam kebudayaan. Guna mencapai suatu
perekonomian yang berbasis kerakyatan tersebut, tentu diperlukan suatu
terobosan dalam hal diplomasi ekonomi Indonesia dengan mitranya baik secara bilateral,
regional maupun multilateral. Hal ini sejalan dengan 9 (sembilan) agenda
prioritas (NAWACITA) pemerintah periode 2015 – 2019 yang salah satunya adalah
untuk mewujudkan suatu negara yang berdikari dalam ekonomi dengan cara
menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik sesuai dengan percerminan
dari ideologi Trisakti. Presiden Joko Widodo menargetkan pertumbuhan ekonomi
Indonesia pada tahun 2015 sebesar 5.6% hingga 5.8%. Secara keseluruhan, ekspor
nonmigas Indonesia lebih unggul dibandingkan sektor migas. Sepanjang
Januari-November 2014, ekspor nonmigas tercatat mencapai 82.69 % sedangkan
ekspor migas hanya sebesar 17.31%. Kontribusi terbesar ekspor nonmigas berasal
dari industri pengolahan yang menyumbang sebesar 66.51%.
Sejalan
dengan hal ini, Kementerian Luar Negeri (Kemlu) melalui perwakilan-perwakilan
RI akan menjadi ujung tombak dari pelaksanaan diplomasi ekonomi. Menlu RI dalam
Pernyataan Pers Tahunan tahun 2015 menyatakan bahwa berdasarkan visi dan misi
Presiden Jokowi, politik luar negeri Indonesia akan diprioritaskan kepada
menjaga kedaulatan Indonesia dengan memfokuskan kepada diplomasi perbatasan;
peningkatan perlindungan terhadap WNI dan BHI; serta peningkatan diplomasi
ekonomi.
Dalam hal
diplomasi ekonomi, Kemlu akan memprioritaskan kebijakannya pada peningkatan
diplomasi ekonomi yang berorientasikan pada kepentingan rakyat Indonesia. Hal
ini menjadikan Kemenlu melalui perwakilan Indonesia di luar negeri sebagai
pelaksana diplomasi ekonomi, yang diwakili oleh para diplomatnya harus dapat
menjadikan dirinya tidak hanya sebagai marketers, tetapi juga sebagai
opportunity seekers bagi berbagai peluang baik berupa perdagangan, turisme,
serta investasi. Diplomasi ekonomi secara singkat dapat didefinisikan sebagai
suatu kegiatan untuk mempromosikan potensi ekonomi suatu negara. Diplomasi
ekonomi juga dapat diartikan sebagai upaya pemerintah beserta segenap pemangku
kepentingan yang terlibat dalam suatu kegiatan di bidang ekonomi, yang mencakup
perdagangan komoditas, investasi, pariwisata, ketenagakerjaan dan kerja sama
teknik yang bertujuan untuk mendorong peningkatan kesejahteraan rakyat,
mendukung pembangunan nasional dan memajukan kepentingan Indonesia di kancah
global.
Peran
perwakilan Indonesia sangat strategis dalam pelaksanaan diplomasi ekonomi.
Pejabat di perwakilan Indonesia harus memiliki kemampuan market intelligence
untuk melihat potensi dan peluang kerja sama di negara akreditasinya. Para
diplomat juga dituntut untuk bisa menjalankan perannya sebagai trade policy
intelligence dengan cara pengamatan terhadap kebijakan ekonomi yang
diterapkan oleh pemerintah setempat dan menyampaikan saran kepada pusat terkait
kebijakan yang dapat Indonesia ambil dalam menyikapi kebijakan ekonomi yang
diambil oleh pemerintah setempat. Jika kepentingan ekonomi Indonesia berpotensi
terancam dengan kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah tersebut, para
diplomat kemudian harus dapat berperan sebagai negosiator untuk membela
kepentingan Indonesia.
Di bidang
perdagangan, diplomasi ekonomi Indonesia akan difokuskan pada upaya untuk
membidik pasar non tradisional bagi produk-produk ekspor dari Indonesia. Selama
ini ekspor dari Indonesia cenderung terfokus pada pasar-pasar tradisional
seperti Jepang, Amerika, Singapura, Taiwan, Korea serta negara-negara di kawasan
di Eropa Barat seperti Jerman, Belanda, Inggris, Perancis, serta Italia. Dengan
tidak hanya berorientasi pada pasar tradisional, pasar-pasar non tradisional
seperti negara non Uni Eropa; Skandianavia, Turki, Kanada, Meksiko, Swedia,
Panama, Portugal, serta Irlandia berpotensi bagi peningkatan nilai
perdagangan dan investasi bagi Indonesia. Negara-negara di kawasan Amerika
Latin serta Eropa Timur dan Tengah juga merupakan pasar alternatif bagi produk
ekspor dari Indonesia. Peningkatan nilai perdagangan dan investasi dengan pasar
non tradisional dan pasar alternatif hendaknya dijalankan dengan tetap
mempertahankan hubungan yang telah terjalin dengan baik dengan pasar
tradisional. Dengan berubahnya paradigma pangsa pasar bagi pemasaran produk
ekspor Indonesia dari pasar tradisional ke pasar non tradisional serta pasar
alternatif, nilai perdagangan serta investasi Indonesia diharapkan akan
mengalami peningkatan.
Di bidang
investasi, dalam pidato Presiden Jokowi pada KTT APEC pada bulan November 2014,
dengan jelas disampaikan bahwa Indonesia membuka peluang masuknya investasi
dalam jumlah yang besar, khususnya bagi pembangunan infrastruktur dan
konektivitas dalam lima tahun ke depan. Presiden Jokowi menyampaikan bahwa
Indonesia akan terbuka bagi masuknya investasi dalam proyek pembangunan 24 seaport
dan deep seaport; railway track dan railway network yang
menghubungan pulau-pulau terbesar di Indonesia; power plant untuk manufaktur
dan daerah-daerah industri serta pembuatan transportasi umum di sejumlah kota besar
di Indonesia; serta pembangunan sea toll dalam kerangka diplomasi
maritim.
Di bidang pariwisata, pada event World
Economic Forum tahun 2013, Indonesia memperoleh posisi ke-70 sebagai
negara dengan daya saing pariwisata. Berdasarkan hal tersebut, pemerintah RI
terus berusaha untuk dapat memperbaiki daya saing pariwisatanya dengan
menargetkan posisi ke 30 pada tahun 2019. Pada tahun 2014, bidang pariwisata
berkontribusi sebesar 3.78% bagi perekonomian nasional. Sedangkan devisa yang
ikut disumbangkan dari sektor pariwisata adalah sebesar US$ 10.69 miliar.
Target kunjungan dari wisatawan mancanegara pada tahun 2014 mampu memenuhi
target dari pemerintah, yaitu sebesar 9.3 juta, sedangkan jumlah wisatawan dari
nusantara tercatat sebesar 251 juta[.
Pemerintah
Indonesia selama ini menargetkan 19 negara sebagai fokus utama pariwisata
Indonesia diantaranya jepang, Korea Selatan, Rusia, Australia serta China.
Tahun 2014 tercatat bahwa ada 4 (empat) negara yang paling banyak
melakukan kunjungan ke Indonesia, yaitu: Singapura, Malaysia, Australia dan
China.
Pada tahun
2019, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif menargetkan kontribusi
pariwisata terhadap PDB nasional akan menjadi 8%, devisa yang dihasilkan
sebesar Rp 240 triliun, serta menciptakan 13 juta lapangan kerja. Selain
itu target kunjungan wisman meningkat menjadi 20 juta wisatawan manca dan
wisnus naik menjadi 275 juta, serta daya saing pariwisata Indonesia akan
meningkat berada di ranking 30 besar dunia.
Target ini
tentunya akan tercapai jika ditunjang oleh pembangunan infrastruktur serta
konektifitas yang memadai sehingga akses untuk mencapai tempat-tempat
berpotensi wisata dapat diakses dengan mudah. Ketersediaan direct flight
menuju titik-titik utama pariwisata Indonesia juga merupakan hal yang sangat
penting dalam rangka meningkatkan jumlah wisatawan.
Selain
itu, kebijakan pemerintah dengan pemberian Bebas Visa Kunjungan Singkat (BVKS)
bagi 5 negara yakni; Australia, Jepang, Korea, China, dan Rusia yang mulai
diterapkan tahun 2015 merupakan salah satu trigger bagi meningkatnya
jumlah wisatawan dari negara tersebut sehingga target jumlah wisatawan
mancanegara yang telah ditetapkan pemerintah untuk 5 (lima) tahun mendatang
akan dapat tercapai.
Tanggung
jawab pencapaian pertumbuhan ekonomi yang ditargetkan oleh pemerintah, tentunya
tidak hanya terletak di tangan pemerintah saja. Peran pemerintah dalam mencapai
tujuan tersebut akan lebih dapat ditingkatkan jika dapat bersinergi dengan para
pemangku kepentingan terkait melalui persamaan pandangan dalam pelaksanaanya,
sehingga dapat tercapai pertumbuhan ekonomi yang maksimal dan nyata serta dapat
dirasakan oleh masyarakat luas.